konsep pola asuh dan prilaku anak
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Konsep
Pola Asuh
2.1.1 Pengertian
Pola Asuh Orang tua
Pengasuhan menurut
Porwadarminta adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin atau
mengelola. Pengasuhan yang dimaksud disini adalah mengasuh anak. Menurut Darajat
mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan,minumnya,
pakaiannya dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan
pengertian di atas dapatlah dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah
kepemimpinan, bimbingan yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan
kepentingan hidupnya (Amal,2005).
Menurut kamus besar
Bahasa Indonesia (2002), pengertian pola asuh adalah merupakan suatu bentuk
(struktur), system dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing anak kecil.
Sedangkan pola asuh menurut
Soetjiningsih
(2004) adalah suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan suatu
kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai
dengan harapan masyarakat pada umumnya.
Dalam laporan Temu
Ilmiah Sistem Kesejahteraan Anak Nasional, 1998 pola asuh orang tua dirumuskan
sebagai seperangkat sikap dan perilaku yang tertata, yang diterapkan oleh orang
tua dalam berinteraksi dengan anaknya (Garliah, 2003).
Kohn, 1986 mengatakan
bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan
anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan
aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya,
dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya (Tarmudji,
1991).
Ukuran keluarga
mempunyai pengaruh terhadap pola asuh keluarga dan hasil-hasil yang dicapai
oleh anak. Keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan
pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil
menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar.
Penelitian telah menghubungkan perbedaan ini dengan perkembangan intelektual
dan penampilan prestasi di sekolah (Feiring dan Lewia, 1984).
2.1.2
Tipe Pola Asuh Orang tua
1. Menurut Baumrind (1989), mengemukakan tiga pola asuh oran
tua, yaitu:
a. Pola Asuh Authoritarian (Otoriter)
Pola asuh ini
ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat
dibatasi dan orang tua memaksa anak untuk berperilaku seperti yang diinginkan.
Bila aturan-aturan ini dilanggar, orang tua akan menghukum anak dengan hukuman
yang biasanya bersifat fisik. Tapi bila anak patuh maka orang tua tidak
memberikan hadiah karena sudah dianggap sewajarnya bila anak menuruti kehendak
orang tua.Perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas,
suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan
oleh orang tua tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alas an
dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak. Pola asuh
otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia,
ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu
tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan masalah, kemampuan
komunikasinya buruk serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari
orang tua. Dengan pola asuh seperti ini, anak diharuskan untuk berdisiplin
karena semua keputusan dan peraturan ada di tangan orang tua.
b.
Pola
Asuh Authoritative (Demokratis)
Pola asuh
demokratik ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan
anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi
kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya serta belajar
untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersikap sebagai pemberi
pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak. Dengan pola asuhan ini, anak
akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal
yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendorong anak untuk mampu
berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya
kreativitasnya berkembang dengan baik karena orang tua selalu merangsang
anaknya untuk mampu berinisiatif.
c.
Pola
Asuh Permessive (Permisif)
Pola asuh ini
ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anaknya untuk berperilaku
sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah memberi aturan dan
pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa
pertimbangan dari orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau
salah karena orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak.
Akibatnya anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak
peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.Dengan pola
asuh seperti ini, anak mendapatkan kebebasan sebanyak mungkin dari orang tua.
Pola asuh permisif memuat hubungan antara anak-anak dan orang tua penuh dengan
kasih sayang, tapi menjadikan anak agresif dan suka menurutkan kata hatinya. Secara
lebih luas, kelemahan orang tua dan tidak konsistennya disiplin yang diterapkan
membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh, dan tingkah laku agresif di
luar lingkungan keluarga.
2. Menurut Hoffman, 1970 terdiri dari tiga tipe pola asuh
yaitu :
a. Induction (pola asuh bina kasih)
Adalah suatu teknik
disiplin dimana orang tua memberi penjelasan atau alas an mengapa anak harus
mengubah perilakunya. Pada tipe pola asuh seperti ini dijumpai perilaku orang
tua yang directive dan supportive tinggi.
b. Power
assertion (pola asuh unjuk rasa)
Adalah perilaku
orang tua tertentu yang menghasilkan tekanan-tekanan eksternal pada anak agar
mereka berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua. Pada tipe pola asuh ini
dijumpai perilaku orang tua yang directive nya tinggi dan supportive rendah.
c. Love withdrawal (pola asuh lepas kasih)
Adalah
pernyataan-pernyataan non fisik dari rasa dan sikap tidak setuju orang tua
terhadap perilaku anak dengan implikasi tidak diberikannya lagi kasih saying
sampai anak merubah perilakunya. Pada tipe pola asuh ini dijumpai perilaku
orang tua yang directive dan supportive rendah ( Garliah, 2003).
2.1.3 Karakteristik
Beberapa Pola Asuh
1) Pola Asuh
Otoriter
(a) Memberikan
tuntutan yang sangat tinggi terhadap kontrol dan disiplin kepada anak, tanpa
memberikan cinta dan kehangatan yang dibutuhkan anak
(b) Menuntut anak
untuk mengikuti standar yang ditentukan tanpa mengijinkan anak untuk
mengungkapkan keberat-beratannya
(c) Ingin agar
anak mengikuti kehendak orang tua tanpa banyak bertanya. Menutup diri dan
menolak adanya diskusi
2) Pola Asuh Permisif
(a) Cenderung
menghindari konfrontasi dengan anak
(b) Membiarkan
anak melakukan apapun yang dinginkan
(c) Tak memberikan batasan yang jelas mengenai apa yang
tidak dan boleh dilakukan anak
(d) Konfrontasi dan batasan berupa kontrol dianggap
berlawanan dengan keinginan orang tua untuk menunjukkan cintanya kepada anak
3) Pola Asuh Demokratis
(a) Memberi
kontrol terhadap anaknya dalam batas-batas tertentu, aturan untuk hal esensial
saja dengan tetap menunjukkan cinta dan kehangatan kepada anak
(b) Monitor dan menjelaskan standar yang diinginkan orang
tua tanpa membatasi ruang gerak sang anak
(c) Memberi dukungan dan perhatian kepada anak dalam
menciptakan keharmonisan rumah tangga sehingga dapat membentu anak
mengembangkan kreativitasnya( Tabloid Nakita, 2004:41 ).
2.1.4 Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pola Asuh
a. Status Sosial-Ekonomi
Orang tua kelas menengah dan rendah cenderung lebih
keras, memaksakan kurang toleran dibandingkan dari mereka yang dari kelas atas,
tetapi mereka lebih konsisten. Semakin berpendidikan semakin mereka menyukai
disiplin demokratis
b. Budaya/Adat
Orang tua yang memiliki konsep tradisional cenderung
lebih otoriter dibandingkan dengan orang tua yang menganut konsep modernisasi
c. Jenis Kelamin Anak
Orang tua lebih umumnya keras terhadap anak perempuan
daripada anak laki-lakinya
d. Usia Anak
Pola asuh otoriter jauh lebih umum digunakan untuk anak
kecil daripada mereka yang lebih besar/dewasa. Apapun teknik yang disukai,
kebanyakan orang tua merasa bahwa anak kecil tidak dapat mengerti penjelasan,
sehingga mereka memusatkan perhatian mereka pada pengendalian otoriter
e. Situasi
Pola asuh demokratis lebih umum digunakan oleh orang tua
yang memiliki waktu lebih bersama anaknya dibandingkan dengan mereka yang
kurang memiliki waktu untuk bersama anaknya
f. Pendidikan Orang Tua
orang tua yang telah mendapatkan kursus/pelajaran dalam
mengasuh anak, maka akan lebih mengerti kebutuhan anaknya dan lebih menggunakan
pola asuh yang demokratis, dibandingakan dengan orang tua yang tidak memiliki
kursus demikian
g. Usia Orang Tua
secara umum orang tua yang lebih berumur menerima
perannya sepenuh hati daripada mereka yang masih muda (Hurlock Elizabeth,
2002:95).
2.2. Konsep Perilaku
2.2.1 Definisi
Perilaku
Menurut Sunaryo (2004), kalau dilihat dari sudut
biologis perilaku adalah suatu kegiatan /aktivitas organisasi yang
bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan menurut ensiklopedi Amerika (2000) perilaku diartikan sebagai suatu
aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada
sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut
rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi / perilaku
tertentu.
Skiner (1938)
seorang ahli psikologi,mengemukakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus (rangsang dari luar).Oleh karena itu perilaku ini
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme,dan kemudian
organisme tersebut merespon,maka teori skiner ini disebut S-O-R atau stimulus
–organisme respons.
2.2.2 Prilaku dapat dibedakan menjadi dua respon
1. Perilaku
Tertutup ( covert behavior )
Respon seorang
terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup.Respon atau reaksi
terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian,presepsi,pengetahuan/kesadaran,dan sikap yang terjadi pada orang yang
menerima stimulus tersebut,dan belum dapat diamati secara jelas orang lain.
2. Perilaku
Terbuka ( overt behavior )
Respon seorang
terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.Respon terhadap
stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dengan
mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku
Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku merupakan bentuk
respon / reaksi terhadap stimulus / rangsangan dari luar organisme , namun
dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik / faktor-faktor
lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respon
terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Dengan perkataan
lain perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat
luas.
Sedangkan menurut Walgito (2000) pembentukan
perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, faktor kebiasaan,
faktor pengertian dan faktor menggunakan model, faktor kebiasaan dapat
diartikan bagaimana cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang
diharapkan, yang akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut, seperti misalnya
seorang anak yang sebelum tidur akan menggosok gigi terlebih dahulu. Yang
berikutnya yaitu faktor pengertian, yang bagaimana manusia tersebut membentuk
perilakunya dengan cara atas teori belajar kognitif, yaitu belajar yang
disertai adanya pengertian seperti
misalnya kalau naik motor harus menggunakan helm, karena penggunaan helm
tersebut dapat untuk melindungi keselamatan diri dan yang terakhir, yaitu
faktor pembentukan perilaku dengan menggunakan model / contoh. Kalau orang
bicara bahwa orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan
anak buahnya, hal tersebut menunjukkan pembentukan perilaku dengan menggunakan
model / contoh yang dipimpinnya.
Sementara itu perilaku menurut Green sebagaimana
dikutip oleh Notoatmodjo (2007) sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu
faktor predisposisi (predisposing factors) seperti tingkat pengetahuan, sikap,
norma, nilai, dan faktor demografi seperti usia, tingkat pendidikan; faktor
pemungkin (enabling factors) seperti ketersediaan fasilitas untuk bertindak;
dan faktor penguat (reinforcing factors) seperti perilaku orang lain atau tenaga
kesehatan (Wresniwiro, 2000).
2.3 Konsep Remaja
2.3.1 Definisi
Remaja
Remaja merupakan penggunaan istilah untuk
menyebutkan masa peralihan dari masa kanak-kanak menjadi masa dewasa, ada yang
memberi istilah puberty(Inggris), pubertiet
(Belanda), pubertas (Latin) yang berarti kedewasaan yang
dilandasi olehsifat dan tanda-tanda kedewasaan.
Menurut WHO,masa
remaja adalah masa peliharaan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa .di mana
pada masa itu terjadi pertumbuhan yang peasat termasuk fungsi reproduksi
sehinggga mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan perkembangan,baik
fisik,mental,maupun peran sosial ( Surjadi,dkk,2002:35)
Pieget ( 1991)
menyatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana individu
menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa,suatu usia dimana anak tidak
merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat yang lebih tua melainkan merasa
sama atau paling tidak sejajar ( Ali,2005:9)
2.3.2 Batasan Usia Remaja
Batasan usia remaja
berbeda beda sesuai dengan sosial budaya setempat. ditinjau dari bidanga
kesehatan WHO, masalah yang dirasakan paling mendesak berkaitan dengan
kesehatan remaja adalah kehamilan dini. berangkat dari masalah pokok ini, WHO
menetaokan batas usia 10-20 tahun sebagi batasan usia remaja (surjadi, dkk
2002: 1).
Dengan demikian
dari segi program pelayanan dewfinisi remaj yang digunakan oleh Departemen
kesahatan adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum kawin. sementara
itu, menurut BKKBN ( Drektorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi ) batasan
usia remaja adalah 10-20 Tahun (BKKBN, 2006).
2.3.3 Karakteristik Remaja Berdasarkan Umur
1.
Masa remaja awal (10-12 tahun).
a. Lebih dekat
dengan teman sebaya.
b. Ingin bebas.
c. Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya.
d. Mulai berfikir abstrak.
2.
Masa remaja petengahan (13-15 tahun)
a. Mencari
identitas diri.
b. Timbul keinginan
uttuk berkencan.
c. Mempunyai rasa
cinta yang dalam.
d. Mengembangkan kemampuan
berfikir abstrak.
e. Berhayal tentang
aktifitas sex.
3.
Remaja Akhir (17-21 tahun)
a. Pengungkapan
kebesan diri
b. Lebih selektif
dalam mencari teman sebaya
c. Mempunyai citra
tubuh terhadap dirinya sendiri
d. Dapat mewujudkan
rasa cinta
2.3.4 Kriteria Remaja
Wito (1974) dalam Sarlito (2002) membedakan remaja
dalam tiga kriteria yaitu remaja berdasarkan aspek biologis, psikologis dan
sosial ekonomi. Hal ini berarti bahwa remajaberkembang dari saat pertama kali
menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat mencapai kematangan
seksual, juga mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa, serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial
ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif mandiri.
Sementara itu menurut Sarlito (2002), remaja dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu remaja awal (early adolescence), remaja madya (middle
adolescence) dan remaja akhir (late adolescence). Masa remaja awal (early
adolescence) yang sering disebut masa puber/ pubertas. Pubertas berasal dari
bahasa Latin yang artinya mendapat pabes / rambut sekitar kemaluan, yaitu suatu
tanda kelamin sekunder yang menampilkan perkembangan seksual (Rumini dan
Sundari, 2004).
Masa remaja madya (middle adolescence), ditandai
dengan remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Remaja senang kalau banyak teman
yang menyukainya. Ada kecenderungan narcisticyaitu mencintai diri sendiri,
dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan
dirinya. Selain itu ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu
harus memilih yang mana, peka/tidak peduli, ramai-ramai/sendiri,
optimis/pesimis, idealis/materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus
membebaskan diri dari oedipoes complexyaitu, perasaan cinta terhadap ibu
sendiri pada masa kanak-kanak dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dan
lain jenis (Sarlito, 2002).
Masa remaja akhir (late adolescence) merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa
dan ditandai dengan minat si remaja tersebut yang semakin mantap terhadap
fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan
orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru. Terbentuklah identitas
seksual yang tidak berubah, egosentrisme/terlalu memusatkan perhatian pada
dirinya sendiri dan mulai tumbuhnya dinding yang memisahkan diri pribadi dan
masyarakat umum dalam masa remaja akhir akan mengalami masa kritis identitas.
Selama perkembangan mengalami kegoncangan karena perubahan dalam dirinya maupun
dari luar dirinya, yaitu sikap orang tua, guru, cara mengajar dan masih banyak
lagi serta melepaskan diri dari orang tua dan bergabung dengan teman sebayanya.
Apa yang dianut/dipatuhi menjadi goyah karena terpengaruh dengan teori-teori
yang baru (Rumini & Sundari, 2004).
2.3.5 Faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja
Menurut Jenson sebagai mana dikutip oleh Sarlito
(2002), menjelaskan bahwa faktor kenakalan remaja tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam kenyataannya banyak sekali
faktor yang menyebabkan kenakalan remaja maupun kelainan perilaku remaja pada
umumnya, sehingga dapat dikatakan faktor penyebab yang sesungguhnya sampai
sekarang belum diketahui pasti. Walaupun demikian, secara umum dapat dikatakan
bahwa selain faktor di atas, perilaku menyimpang pada remaja dapat juga
disebabkan oleh faktor-faktor di dalam jiwa remaja itu sendiri dan oleh
kelainan fisik / genetik.
Sedangkan Graham dalam Sarlito (2002), menyatakan
bahwa faktor penyebab kenakalan remaja dapat menjadi dua golongan yaitu faktor
lingkungan dan faktor pribadi. Faktor lingkungan mencakup malnutrisi,
kemiskinan di kota-kota besar, faktor sekolah dan keluarga yang tidak sehat,
gangguan lingkungan seperti bencana alam, dan juga karena pengaruh migrasi
seperti pengungsian karena perang dan urbanisasi, serta dari orang tua. Orang
tua sakit-sakitan / sakit jiwa, hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis
dan karena oleh kesulitan pengasihan yang dapat disebabkan oleh pengangguran,
kesulitan keuangan, dan tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat.
2.4 Konsep Alkohol
2.4.1 Alkohol
Alkohol adalah zat
yang diperoleh atas peragian atau fermentasi madu, gula, sari buah atau
umbi-umbian. Dari peragian tersebut akan diperoleh alkohol 15% tetapidengan
proses penyulingan atau destilasi dapat dihasilkan kadar alkohol yang lebih
tinggi bahkan mencapai 100% ( Neinstein, 2002).
Etanol adalah
bentuk molekul sederhana dari alkohol yang sangat mudah diserap dalam saluran
pencernaan mulai dari mulut, esofagus, lambung, sampai usus halus. Daerah
saluran pencernaan yang paling banyak menyerap alkohol adalah bagian proksimal
usus halus, disini juga diserap vitamin B yang larut dalam air, kemudian dengan
cepat beredar dalam darah. Minum minuman beralkohol berarti mengkonsumsi antara
10-12 gram etanol (Neinstein, 2002).
Ada 3 golongan minuman beralkohol yaitu golongan A :
kadar etanol 1%-5%(bir, green sand), golongan B : kadar etanol 5%-20% (anggur/
wine) dan golongan C : kadar etanol 20% -45% ( Whiskey, Vodka, TKW, Mainson
House, Johny Walker, Kamput, Arak atau Tuak) (Neinstein, 2002).
Alkoholism adalah
keadaan penyalahgunaan serta ketergantungan alkohol. Sedangkan menurut National
Council on Alkoholism tahun 1992
mendefenisikan bahwa alkoholism adalah
suatu penyakit kronis progresif yang ditandai dengan hilangnya control akibat
memakai alkohol dengan konsekuensi timbulnya masalah sosial, hukum, psikologi
dan juga fisik. Gangguan psikiatri acap kali timbul selama dalam keadaan
keracunan alkohol maupun dalam keadaan putus alkohol(Soetjiningsih, 2004).
2.4.2 Dampak dari alkohol
Mengkomsumsi alkohol
dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan ketergantungan dan toleransi terhadap
jumlah dari alkohol yang dikomsumsi. Penggunaan alkohol jangka jumlah yang
berlebihan bisa merusak berbagai organ di tubuh terutama hati, otak, dan
jantung. Alkohol cenderung menyebabkan toleransi, teratur minum lebih dari 2
gelas alkohol per hari, bisa mengkomsumsi alkohol lebihbanyak dari
non-alkoholik tanpa mengalami intoksikasi. (Soetjiningsih, 2004).
2.4.3 Faktor penyebab seorang menjadi peminum alkohol.
Adapun penyebab
seseorang menjadi alkoholik banyak faktor ikut terlibat didalamnya. Faktor
psikologis bahwa alkohol dalam jumlah sedikit dapat mengatasi keadaan cemas,
gelisah, ketegangan, merasa kuat dan percaya diri, mengurangi perasaan nyeri
dan merasa mampu mengatasi stress kehidupan sehari-hari (Soetjiningsih, 2004).
Teori
psikodinamikpsikoanalitik mengatakan mereka yang pecandu alkohol adalah mereka
yang mengalami fiksasi pada fase oral sehingga mereka memuaskan serta mengatasi
frustasinya dengan minum-minum seperti alkohol. Sering mereka tergolong
memiliki kepribadian anti sosial. Teori tingkah laku mengatakan bahwa efek
reward setelah mereka minum dan terus ingin untuk minum seterusnya. Faktor genetik ikut berperan dalam
memunculkan seseorang menjadi alkoholik, orang tua peminum, saudara kembar,
akan menjadikan anknya juga alkoholik (Behrman, 2000).
Ketersedian alkohol
yang mudah dan dekat dengan masyarakat hanya salah satu dari beberapa faktor
yang berperan pada penyalahgunaan zat, Irwan (1995) menyebutkan ada 5 faktor
yang berperan dalam penyalahgunaan zat :
1. Kepribadian
(antisocial/psikopatik)
2. Kondisi
kejiwaan (kecemasan/depresi)
3. Kondsi keluarga
(keutuhan keluarga,kesibukan orang tua, komunikasi orang tua dan anak
4. Kelompok teman
sebaya
5. Zat nya itu
sendiri (mudah diperoleh di pasaran, resmi/tidak resmi)
Sedangkan menurut
Rutter dalam Irwan mengemukakan hal-hal berikut sebagai faktor-faktor penyebab
remaja mengkomsumsi alkohol adalah :
1. Kematian orang
tua (broken home by death)
2. Kedua orang tua
bercerai atau berpisah (broken home by divorce/separation)
3. Hubungan orang
tua kurang harmonis (poor marriage)
4. Hubungan
anak-orang tua buruk (poor parent-child relationship)
5. Suasana rumah tanga yang tegang (high
tension)
6. Suasana rumah tanga kurang kehangatan (low
warmth)
7. Orang tua sibuk dan jarang di rumah (absent)
8. Orang tua memiliki kelainan kepribadian
(personality disorder)
2.4.4 Kriteria diagnostik untuk keracunan alkohol adalah :
1. Gejala terjadi segera setelah minum alkohol
2 Perubahan dalam tingkah laku dan psikologis
berupa : tingkah laku agresif, emosi labil, gangguan dalam pertimbangan,
gangguan fungsi sosial dan pekerjaan.
3. Satu atau lebih
gejala sebagai berikut : bicara pelo/cadel, nistagmus, jalan terhuyung-huyung,
gangguan koordinasi, gangguan pemusatan perhatian dan memori, stupor dan koma (Soetjiningsih,
2004).
2.4.5 Efek yang
Ditimbulkan Mengkonsumsi Alkohol
Efek yang
ditimbulkan setelah mengkomsumsi alkohol dapat dirasakan segera dalam waktu
beberapa menit saja, tetapi efeknya berbeda beda, tergantung dari jumlah atau
kadar alkohol yang dikomsumsi. Alkohol merupakan depresan sistemSSP, namun pada
dosis rendah dapat bersifat sebagai stimulan. Pada dosis sedang dapat
menyebapkan sedasi, eufpori, mudah terangsang, dan koordinasi. Apabila dosis
dinaikkan akan terjadi ataksia, emosi labil, dan bicara yang kacau. Sedangkan
pada dosis tinggi dapat menyebapkan penurunan kesadaran, gagal nafas, koma,
kematian (Soetjiningsih, 2004).
Penggunaan jangka
panjang alkohol juga dapat menimbulkan efek yang tidak baik bagi tubuh :
1. Kadar asam urat yang rendah
2. Kadar zat besi yang rendah (Anemia)
3. Kerusakan kulit, diare, dan deoresi
4. Peradangan pada kerongkongan (esopagitis)
5. Peradangan pada lambung (gastritis, ulkus)
6. Peradangan pada hati (hepatitis, sirosis,
kanker)
7. Peradangan pancreas (pankreatitis)
8. Denyut jantung abnormal (aritmia, gagal
jantung)
9. Tekanan darah tinggi, stroke, aterosklerosis
10. Pada otak dapat
mengakibatkan berkurangnya koordinasi, ingatan jangka pendek yang buruk,
psikosa, kebingungan
11. Pada saraf
dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk berjalan (kerusakan saraf di lengan dan tungkai yang
mengendalikan pergerakan) ( Soetjiningsih, 2004)
Dampak sosial yang
bisa dirasakan dalam penyalahgunaan zat termasuk alkohol yaitu kepada diri
sendiri, kepada keluarga, dan kepada masyarakat.Bagi diri sendiri :
a) Merusak syaraf dan organ tubuh lain
b) Memupus IMTAQ
c) Menurunkan semangat belajar
d) Mengakibatkan perilaku menyimpang
e) Memicu tindakan tidak bermoral
f) Mengakibatkan pelanggaran hokum
2 . Bagi orang tua
dan keluarga
a)
Menyebabkan
beban mental dan emosional
b)
Menyebapkan
beban biaya yang tinggi
c)
Menimbulkan
rasa malu dan penderitaan yang berkepanjangan
d)
Merusak
hubungan kasih sayang antar anggota keluarga
3. Bagi lingkungan
masyarakat
a)
Menimbulkan
gangguan keamanan dan ketertiban
b)
Mengakibatkan
hilangnya kepercayaan
c)
Mendorong
tindak kejahatan
d)
Menimbulkan
beban ekonomi dan sosial yang besar
(Soetjiningsih, 2004).
2.4.6 Tingkatan Pengkonsumsi Alkohol
Sejauh ini belum
ada ketentuan atau standar yang menegaskan tentang tingkat keamanan peminum
alkohol secara, namun Woteki dan Thomas (1992) mengelompokkan peminum alkohol
secara sederhana dalam 3 kelompok :
1. Kelompok pertama adalah “peminum ringan”
(linght drinker) yaitu mereka yang mengkomsumsi antara 0,28 s/d 5,9 gram atau
ekuivalen dengan minum 1 botol bir atau kurang.
2. Kelompok kedua adalah “peminum menengah”
(moderate drink). Kelompok ini mengkomsumsi antara 6,2 s/d 27,7 gram alkohol
atau setara dengan 1 s/d 4 botol bir per hari.
3. Kelompok ketiga
adalah “peminum berat” (heavy drinker) yang mengkomsumsi lebih dari 28 gram
alkohol per hari atau lebih dari 4 botol bir sehari( Irawan,2007).
Hartono 2002 mengklasifikasikan
pemakaian minuman keras diantaranya sebagai berikut :
a. Tingkat
Eksperimental (experimental user)
Adalah tingkat
pemakaian dengan tujuan hanya mencoba untuk memenuhi rasa ingin tahu atau
karena sebab lain (misalnya pengaruh teman) mereka memakai sekali atau beberapa
kali. Sebagian besar kemudian berhenti dan tidak memakai lagi.
b. Tingkat
Sosial atau Rekreasi (social user)
Adalah penggunaan zat dengan tujuan untuk
bersenang-senang, misalnya pada saat rekreasi, pesta, atau sedang santai. Dalam
tahap ini pemakai telah merasa memperoleh manfaat tertentu dari pemakaian miras
ini. Sebagian tidak melanjutkan pemakaiannya menjadi kebiasaan menetap dan
sebagian lagi meningkat pada tahap selanjutnya.
c. Tingkat
Situasional (Situatioonal user)
Adalah pemakaian
dengan tujuan menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan (kekecewaan,
kesedihan, ketegangan) atau melarikan diri dari situasi tersebut.
d. Tingkat
penyalahgunaan (Abuse user)
Merupakan
pemakaian yang dilakukan secara teratur diluar batas yang wajar dengan pola
patologis, minimal 1 bulan lamanya dan telah terjadi gangguan fungsi sosial
atau pekerjaan.
e. Tingkat
ketergantungan (compulsive dependent user)
Adalah pemakaian
zat yang menimbulkan toleransi dan gejala putus zat apabila dihentikan atau
dikurangi. Dalam tahap ini penderita tidak dapat melepaskan diri dari zat dan
terpaksa harus memakai karena ia tidak dapat menanggulangi gejala putus zat.
Akibat ia memakai minuman keras untuk jangka panjang, walaupun ia sudah
merasakan dampak negative dari pemakaian zat tersebut.
2.5 Kerangka
konsep dan hipotesis
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak
diteliti
: Garis berhubungan yang tidak diteliti
: Garis berhubungan yang diteliti
Gambar
2.5 Kerangka Konsep, “ Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan
Perilaku Kenakalan Remaja Mengkonsumsi Minuman Beralkhol di Desa Kejawan RT
11-12/RW 02 Kecamatan Grujugan Kabupaten Bondowoso.
2.6 Hipotesis
Hipotesis adalah
ptoposisi keilmuwan yang dilandasi oleh kerangka konseptual penelitian dan
merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang dihadapi serta dapat
diuji kebenarannya berdasarkan fakta empiris (Nursalam, 2008 ).
Ho :
Tidak ada hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku kenakalan remaja mengkonsumsi
minuman beralkohol di Desa Kejawan RT 11-12/RW 02 Kecamatan Grujugan Kabupaten
Bondowoso
H1 : Ada hubungan pola asuh orang tua dengan
perilaku kenakalan remaja mengkonsumsi minuman beralkohol di Desa Kejawan RT
11-12/RW 02 Kecamatan Grujugan Kabupaten Bondowoso
Komentar
Posting Komentar