bab 2 konsep tuna grahita



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1       Konsep Harga Diri
2.1.1    Definisi Harga Diri                                                   
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang di capai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya (Suliswati, 2005).
Harga diri adalah bagaimana cara kita mengevaluasi diri kita, seseorang yang memiliki harga diri tinggi merasa dirinya berharga dan berkemampuan sedangkan seseorang yang memiliki harga diri rendah memandang dirinya sebagai orang yang tak berguna, tidak berkemampuan dan tidak berharga, (Anonymous, 2008) stuart dan sundeen ( 1998 ), mengatakan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang di capai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Dapat dartikan bahwa harga diri menggambarkan sejauh mana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten.
Individu yang mampu menilai dirinya sebagaimana adanya menunjukan yang baik pada dirinya, inidividu yang dapat menghargai dirinya adalah individu yang ememiliki harag diri positif, yang akan menghargai dirinya berharga sebagai orang yang memiliki keterbatasan serta berusaha untuk mengembangkan, akan merasa tidak puas, kurang mampu kurang berharga, kurang berdaya dan rendah diri serta merasa bersalah, malu dan depresi ( Anonymous,2009).
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa harga diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri yang meliputi penilaian positif dan negative yang dinyatakan oleh sikap menghargai atau tidak menghargai.
2.1.2 Komponen – komponen Harga Diri
            Menurut felker (dalam Asmaradewi, 2002) ada tiga komponen dalam pembentukan harga diri, yaitu:
a.       Feeling of belonging, Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dia diterima serta dihargai oleh anggota kelompoknya, individu akan memiliki nilai positif tentang dirinya bila mengalami perasaan di terima atau menilai dirinya bagian dari kelompoknya, begitu juga sebaliknya individu akan merasa memiliki nilai negative bila mengalami perasaan tidak diterima.
b.      Feeling of  competence, yaitu perasaan individu bahwa mampu mencapai suatu hasil yang diharrapkannya, bila individu merasa telah mencapai tujuan secara efesien, maka individu teersebut akan memberikan nilai positif pada dirinya.
c.       Feeling of worth, perasaan individu bahwa dirinya berharga, persaan ini sering kali muncul dalam bentuk pertanyaan yang bersifat pribadi seperti pandai, cantik, menawan, langsing, dan lain – lain, individu yang mempunyai perasaan berharga akan menilai dirinya positif dari pada yang
tak berharga (Papalia & Olds, 1998)

 Harga diri itu bersumber dari 2 hal, yaitu :
a).     Bagaimana individu melihat kemampuan dirinya atau berbagai aspek kehidupan.
b).     Seberapa benar dukungan sosial yang di dapat dari orang lain,
         Kemampuan diri terbagi atas 5 domain, yaitu :
1.      Kemampuan disekolah
2.      Penampilan fisik
3.      Penerimaan sosial
4.      Perilaku
5.      Atletis
2.1.3    Karakteristik Harga Diri
            Coorpersmith (dalam dusek, 1996) membedakan tiga jenis harga diri menurut harga karakteristik individu dibedakan menjadi tiga, yaitu : rendah, sedang, tinggi, karakteristik – karakteristik tersebut adalah :
a.       Individu Dengan Harga Diri Tinggi
1.      Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik.
2.      Berhasil dalam akademik, terlebih dalam mengadakan hubungan sosial.
3.      Dapat menerima keritik dengan baik.
4.      Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya sendiri.
5.      Keyakinana akan dirinya tidak berdasarkan fantasinya karena memang mempunyai kemampuan, kecakapan sosial dan kualitas diri yang tinggi.
6.      Tidak berpengaruh pada penilaian orang lain tentang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif atau negative.
7.      Akan menyesuaikan diri dengan mudah pada suatu lingkungan yang belum jelas.
8.      Akan lebih banyak menghasilkan suasana yang berhubungan dengan kesukaan sehingga tercipta tingkat kecemasan dan perasaan tidak aman atau rendah serta memiliki daya pertahanan seimbang.
b.      Individu dengan Harga Diri Sedang
Karakteristik individu dengan harga diri sedang hampir sama dengan yang memiliki harga diri tinggi, terutama dalam kualitas, prilaku dan sikap pernyataan diri mereka memang positif, namun cenderung kurang muderat. Menurut Coopersmith (dalam Asmaradewi, 2002), individu dengan harga diri sedang cenderung dirinya merasa lebih baik dari kebanyakan orang.
c.       Individu dengan Hraga Diri rendah
1.      Memiliki perasaan yang inferior.
2.      Takut mengalami kegagalan dalam mengadakan hubungan sosial.
3.      Terlihat sebagai seorang yang putus asa dan depresi.
4.      Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan.
5.      Kurang adapt mengekspresikan diri.
6.      Sangat tergantung dengan lingkungan.
7.      Tidak konsisten.
8.      Secara pasif akan selalu mengikuti apa yang ada dilingkungannya .
9.      Menggunakan banyak taktik pertahanan diri.
10.  Mudah mengakui kesalahan.
2.1.4    Faktor – Faktor yang Mempengaruhi harga Diri
            Ada beberapa,  faktor yang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya harga diri seseorang (dalam Dusek, 1996) antara lain:
a.       Perkembangan individu
Faktor predisposisi dapat dimulai masih sejak bayi, seperti penolakan orang tua yang menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan dapat mengakibatkan anak gagal mecintai dirinya sendiri dan anak gagal untuk mencintai orang lain. Pada saat anak berkembang lebih besar, anak akan mengalami kurangnya pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat penting baginya, ia merasa adekuat karena selalu tidak percaya untuk mandiri, memutuskan sendiri akan bertanggung jawab terhadap perilakunya, sikap orang tua yang mengontrol dan mengekang akan membuat anak merasa tidak berguna.
b.      Ideal Diri Tidak elastik
Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan, ia standart yang tidak dapat dicapai, seperti cita – cita yang yang terlalu tinggi dan tidak realistis yang pada kenyataannya tidak dapat di capai membuat individu akan menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya diri akan hilang.
c.       Gangguan Fisik dan Mental
Gangguan ini dapat membuat anak dan orang tua rendah diri.
d.      Sistem Keluarga Yang Tidak Berfungsi
Orang tua yang memiliki harga diri rendah tidak akan membangun harga diri yang pada anak dengan baik, orang tua memberi umpan balik yang negative dan berulang – ulang akan merusak harga diri anak, harga diri anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalah tidak adekuat, akhirnya anak akan memandang postif terhadap pengalaman dan kemampuan dilingkungannya.
e.       Pengalaman Traumatik Yang Berulang, misalnya Akibat Aniaya fisik, Emosi dan Seksual
Pengalaman yang dapat dialami berupa penganiayaan fisik, emosi, perorangan, bencana alam, kecelakaan, atau perampokan, individu merasa tidak mampu mengontrol lingkungan, respon untuk menghadapi trauma umumnya ,mengingkari trauma, merubah arti trauma akibatnya koping yang biasa berkembang adalah depresi dan denial pada trauma.





2.1.5    Skala Harga Diri Rosenberg
            Skala ini adalah skala likert 10 item dengan item dijawab pada skala koma empat, dari sangat setuju samapai dangat tidak setuju. Adapun pernyataan pernyataan yang terdapat di skala ini antara lain :
1.      Saya merasa bahwa saya adalah orang yang layak, setidaknya pada suatu bidang yang sama dengan orang lain.
2.      Saya merasa baku, saya memiliki kualitas yang baik
3.      Saya merasa bahwa saya telah gagal
4.      Saya dapat melakukan hal – hal yang saya inginkan
5.      Saya merasa bahwa saya tidak punya banyak hal yang bisa saya banggakan
6.      Saya mengambil sikap positif dari diri saya sendiri
7.      Secara keseluruhan, saya puas dengan diri saya
8.      Saya berharap, saya bisa lebih menghargai diri saya sendiri
9.      Saya merasa tidak berguna dalam kehidupan ini
10.  Kadang – kadang saya merasa tidak bagus sama sekali
Keterangan :
SA = Sangat setuju                                                    D    = Tidak setuju
A    = Setuju                                                                SD  = Sangat tidak setuju
Pemberian skor pada penelitian ini yaitu :
1.      memberikan nilai pada setiap item pernyataan, dengan ketentuan sesuai berikut :

a.       Pernyataan no 1, 2, 4, 6, dan 7 dalam kuesioner
Sangat setuju                           = 3
Setuju                                      = 2
Tidak setuju                            = 1
Sangat tidak setuju                 = 0
b.      Untuk pernyataan no 3, 5, 8, 9, dan 10 dalam kuesioner
Sangat setuju                           = 0
Setuju                                      = 1
Tidak setuju                            = 2
Sangat tidak setuju                 = 4
2.      Dari hasil penelitian diatas, dijumlahkan dan dinilai berdasarkan kategori antara lain ;
a.       Tinggi                                      = skor diatas 25
b.      Sedang                                    = skor 15 – 25
c.       Rendah                                    = skor dibawah 15
( Rosenberg, 1987)

2.2       Konsep Orang Tua
2.2.1    Pengertian Orang Tua
            Orang tua merupakan sumber informasi yang sangat penting mengenai anak yang bersangkutan. Dalam rangka membantu mengatasi masalah belajar anak, orang tualah yang paling sangat bertanggunga jawab. Namun, karena tidak setiap orang tua memahami masalah pendidikan anak, orang tua perlu diberi format isian tentang riwayat perkembangan anak serta format isian tentang keadaan orang tua/wali anak. Dengan isian yang lengkap, orang tua telah membantu melakukan kegiatan identifikasi yang hasilnya akan diolah oleh guru di sekolah (Munawir, 2003).
2.2.2    Hubungan Orang Tua dan Anak
            Dalam menjalani hubungan dengan orang tua, guru hendaknya memahami bahwa ada berbagai reaksi orang tua terhadap anaknya yang berproblema belajar. Ada tiga macam reaksi orang tua terhadap anaknya yang berproblema belajar. Ketiga reaksi tersebut adalah : 1. Menolak atau tidak dapat menerima kenyataan, 2. Kompensasi yang berlebihan, 3. Menerima anak sebagaimana adanya.(Munawir, 2003)
 2.2.3   Program Bimbingan dan Latihan bagi Orang Tua
            Meskipun peranan orang tua terhadap keberhasilan anak di sekolah telah lama dikenal, penyediaan layanan bimbingan dan latihan bagi orang tua di sekolah, terutama di TK dan SD, masih sangat terbatas. Berikut ini dikemukakan oleh program bimbingan dan latihan bagi orang tua di sekolah yang perlu dan kiranya menjadi satu alternative untuk penerapannya di sekolah – sekolah.
a.       Program Bimbingan bagi Orang Tua
Ada dua macam pendekatan dalam memberikan bimbingan bagi orang tua, yaitu pendekatan informasional dan pendekatan psikoterapik. Pendekatan informasional menekankan pemberian informasi atau pengetahuan tentang anak yang berproblema. Pendekatan psikoterapik memasukkan perhatian pada uasha membantu orang tua memahami konflik keluarga dan gangguan emosional yang di sebabkannya.
b.      Program Latihan bagi Orang Tua
Program ini di tunjukan lbagi orang tua untuk memperoleh kemampuan keterampialan mengajar, berinteraksi, dan mengelola perilaku anak di rumah. Latihan keterampilan belajar biasanya terkai dengan mata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Ada dua macam pendekatan dalam program latihan bagi orang tua, yaitu pendekatan komunikasi dan pendekatan keterlibatan. Pendekatan komunikasi menekankan penyelenggaraan komunikasi langsung antara orang tua dan anak. pendekatan menekankan upaya pemecahan masalah praktis melalui kerja sama kelompok.
Berdasarkan pendekatan keterlibatan, orang tua oang tua diminta menyajikan berbagai masalah praktis kepada kelompok orang tua, kemudian mencoba memecahkan masalah sesuai dengan saran yang dikemukakan kelompok orang tua.

2.3       Anak
2.3.1    Anak Sekolah
            Untuk membicarakan mengenai “underachiever” dalam bidang psikologi. Underachiever menunujuk pada anak yang memiliki prestasidi bawah kemampuan intelektual yang dimiliki. Di negeri belanda dan Negara – Negara lain  ditemukan 30% dari anak sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah adalah underachiever, di sebabkan oleh maslah sosial dan emosional (Monks, 2006).
            Mencapai prestasi yang lebih rendah yang  ukan disebabkan oleh factor intelektual, sekarang banyak dianggap disebabkan oleh yang sekarang sering disebut ketakutan akan gagal (hermans,1971). Hermans mengemukakan bahwa ketakutan murid zaman sekarang mungkin berhubungan dengan situasi pengajaran, tetapi mungkin dengan situasi hidup keseluruhan. Keduanya tidak mempunyai kejelasan dan struktur bagi anak (Monks, 2006).
            Menurut observasi Haditono maka masalah underachiever di Indonesia disebabkan oleh suatu kombinasi faktor yang banyak. Faktor yang pertama adalah kurangnya fasilitas belaja dalam arti luas di sekolah, terutama diplosok – plosok, maupun di rumah. Kedua, kurangnya stimulasi mental oleh orang tua di rumah. Factor ketiga adalah keadaan gizi yang bila mana dapat dicapai tingkat yang lebih tinggi maka secara fisik anak lebih mampu untuk menggunakan kapasitas otaknya lebih baik (Monks, 2006).

2.4       Tuna Grahita
2.4.1    Pengertian Tuna Grahita
            Tuna grahita adalah seseorang yang memiliki anak IQ dibawah 70( untuk skla Weschler ). Menurut grossman seperti dikutip Kirk dan Gallagher ( 1979) berdasarkan tes IQ ( skala Weschler ) tuna grahita atau keterbelakangan mental dapat dibagi menjadi :(Munawir, 2003)

a.       Keterbelakangan mental ringan ( IQ = 55-69 )
b.      Keterbelakangan mental sedang ( IQ = 40-45 )
c.       Keterbelakangan mental berat ( IQ = 25-39 )
d.      Keterbelakangan mental sangat berat ( IQ = 24 ke bawah )
Di damping itu masih ada anak yang ber-IQ antara 70-90. Mereka termasuk kategori “border line” (garis batas) yang secara pendidikan disebut “slow learner” (lamban belajar). Anak – anak yang termasuk dalam kelompok lamban belajar dan tunagrahita ringan banyak juga ditemukan disekolah umum. Gejala yang tampak anatara lain prestasi belajar sebagian besar atau seluruh mata pelajaran umunya rendah, sering tidak naik kelas, sulit menangkap pelajaran dan sebagainya. Akibat lebih jauh dari kondisi ini adalah putus sekolah. Guru perlu mengenali mereka agar memberikan bantuan sedini mungkin sehingga tidak putus sekolah. Berikut faktor – faktor dan karakteristik “slow learner” :(Nani T, 2013)
a.       Faktor penyebab anak lamban belajar
1.      Faktor prenatal ( sebelum lahir ) dan genetik
Perkembangan anak dimulai dari sejak kompensasi atau pembuahan. Seluruh bawaan biologis seorang anak yang berasal dari kedua orang tuanya, (berupa kromosom yang memecah diri menjadi partikel kecil disebut dengan gen) akan mewarnai menjadi apa anak tersebut. Terjadinya kelainan kromosom dapat menyebabkan terjadinya pula kelainan yang berhubungan dengan fisik maupun fungsi – fungsi kecerdasan.

2.      Faktor biologis non keturunan
Lamban belajar atau slow learner tidak hanya terjadi karena factor genetik tetapi juga ada beberapa hal dari non genetik, antarai lain : (nani T, 2013).
a.       Obat – obatan
Pada saat ibu hamil, tidak semua obat dapat diminum, karena ada beberapa jenis obat yang apabila diminum dapat merusak atau merugikan pada janin.
b.      Keadaan Gizi Ibu yang Buruk saat Hamil
Ibu hamil harus mendapatkan gizi yang baik selama proses kehamilannya. Dengan demikian baik janin yang dikandung maupun ibu yang hamil tersebut dapat hidup dengan sehat.
c.       Radiasi Sinar X
Walau bahaya sinar x tidak diketahui secara jelas, radiasi dapat mengakibatkan berbagai macam – macam gangguan di otak dan system tubuh lainnya.
d.      Faktor Rhesus
Dalam rini hidayani (2009), disebutkan bahwa bila seorang pria Rh-positif menikah dengan Rh-negatif, kadang – kadanag mengakibatkan keadaan yang kurang baik bagi keturunannya.



3.      Factor Natal ( saat proses kelahiran )
Kondisi kekurangan oksigen saat prosres kelahiran persalinan yang lama atau bermaslah dapat menyebabkan transfer oksigen keotak bayi menjadi terhambat (nani T, 2013).
4.      Factor Post natal ( sesudah lahir ) dan Lingkungan
Malnutrisi dan trauma fisik akibat jatuh atau kecelakaan, trauma pada otak atau beberapa penyakit seperti meningitis dan encephalis harus juga menjadi perhatian kita. Begitu juga dengan lingkungan, dapat berperan sebagai penyebab terjadinya anak lamban belajar atau slow learner (nani T, 2013).
a.       Karakteristik Anak Lamban Belajar ( slow Learner )
Anak yang mengalami kelambanan belajar ( slow learner ) mempunyai karakteristik sebagai berikut, dalam hal:
1.      Inteligensi
Dari segi inteligensi anak – anak lamban belajar atau slow learner berada dalam kisaran bawah rata – rata yaitu 70-90 berdasarkan skala WISC.
2.      Bahasa
Anak – anak lamban belajar atau slow learner mengalami maslah dalam berkomunikasi.anak – anak ini mengalami kesulitan baik dalam bahasa ekspresif atau menyampaikan ide atau gagasan maupun dalam memahami percakapan orang lain atau bahasa reseptif.

3.      Emosi
Dalam hal emosi, anak – anak slow learner memiliki emosi yang kurang stabil. Mereka cepat marah dan meledak – ledak serta sensitive.
4.      Sosial
Anak – anak slow learner dalam bersosialisasi biasanya kurang baik. Mereka sering menjadi pemain pasif atau menonton saat bermain atau bahkan menarik diri.
5.      Moral
Moral seseorang akan berkembang seiring dengan kematangan kognitifnya. Anak – anak lamban belajar tahu aturan yang berlaku tetapi tidak paham untuk apa peraturan tersebut dibuat (Nani T, 2013).
2.4.2    Klasifikasi Anak Tuna grahita
            Penggolongan anak tuna grahita untuk keperluan pembelajaran sebagai berikut : (Drs. Dodo s,2013)
a.       Educable (mampu didik)
Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak regular pada kelas 5 Sekolah Dasar.



b.      Trainable (mampu latih)
Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas kemampuannya untuk mendapat pendidikan secara akademik.
c.       Custodial (mampu rawat)
Dengan pemberian latihan terus menerus dan khusus, dalam melatih anak rentang dasar – dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif.
Berikut ini klasifikasi anak tuna grahita untuk keperluan pembelajaran sebagai berikut :
a.       Taraf perbatasan (bord line) dalam pendidikan tersebut sebagai lamban belajar (slow learner) dengan IQ 70-85.
b.      Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarted) dengan IQ 50-75.
c.       Tunagrahita mampu latih (trainable mentally retarted) dengan IQ 30-50 atau 35-75.
d.      Tunagrahita butuh rawat (dependent or profoundly mentally retarted) dengan IQ dibawah 25 atau 30.
2.4.3    Penyebab Tuna grahita dan karakteristik Tuna grahita
            Tuna grahita dapat disebabkan oleh beberapa faktor :
1.      Generik ( kerusakan/kelainan Biokimiawi, abnormalitas kromosomal)
2.      Sebelum lahir (pre-natal)
3.      Infeksi rubella (cacar)
4.      Faktor Rhesus (Rh)
5.      Kelahiran (pre-natal) yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat kelahiran
6.      Setelah lahir (post-natal) akibat infeksi misalnya: meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi seperti kekurangan protein
7.      Factor sosio-kultural atau sosial budaya lingkungan
8.      Gangguan metabolism
9.      Phenylketonuria
10.  Gargoylisme
11.  Cretinisme
Berikut ini adalah karakteristik anak tuna grahita, yaitu :
1.      Lamban dalam mempelajari hal – hal yang baru
2.      Kesulitn dalam menggenerelisasi dan mempelajari hal – hal yang baru
3.      Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tuna grahita berat
4.      Cacat fisik dan perkembangan gerak
5.      Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri
6.      Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim
7.      Tingkah laku yang kurang wajar terus menerus
2.4.4    Usaha Pencegahan terjadinya Anak Tuna grahita
            Dalam hal ini rochyadi dan zaenal (2003) menyimpulkan bahwa anak dengan tuna grahita dapat dilakukan usaha pencegahan sebagai, berikut:

a.       Diagnostic prenatal
b.      Imunisasi
c.       Tes darah
d.      Pemeliharaan kesehatan
e.       Sanitasi lingkungan
f.       Penyuluhan genetik
g.      Tindakan operasi
h.      Program keluarga berencana
i.        Intervensi dini
2.4.5    Model Layanan Pendidikan untuk Anak Tuna grahita
            Implikasi pendidikan bagi anak tuna grahita ada beberapa, yaitu dengan occupational therapy (terapi gerak), play therapy (terapi bermain), activity dialy living (ADL) atau kemampuan merawat diri, life skill (keterampilan hidup), dan vocational (terapi bekerja). Layanan pendidikan bagi anak tuna grahita dapat diberikan pada :
1.      Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1)
Layanan pendidikan untuk anak tuna grahita yang diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari dikelas khusus. Untuk anak tuna grahita ringan dapat bersekolah di Sekolah Luar Biasa-C, sedangkan untuk anak tuna grahita sedang dapat bersekolah di Sekolah Luar Biasa-C1.


2.      Program Sekolah Di Rumah
Program ini diperlukan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah kusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit.
3.      Pendidikan Inklusif
Layanan pendidikan inklusi diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tuna grahita belajar bersama dengan anak – anak reguler pada kelas/guru pembimbing yang sama, tetapi program disesuaikan dengan kebutuhan anak.
4.      Panti (griya) Rehabilitasi
Panti ini diperuntukan untuk anak tuna grahita pada tingkat berat, yuang mempunyai kemampuan pada tingkat yang sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti pendengaran, penglihatan, dan mototrik (Drs. Dodo s, 2013).
Pendidikan jasmani adaptif untu anak tuna grahuta juga dapat diberikan pada saat bersekolah. Dengan pendidikan jasmani yang diadaptasiakan dan dimodifikasi sesuaia kebutuhan jenis kelainan dan tingkat kemampuan anak tuna grahita merupakan salah satu factor yang sangat menentukan dalam keberhsasilan pendidikan jasmani bagi anak tuna grahita (terutama anak tuna grahita mampu latih atau sedang). Pendidikan jasmani adaptif merupakan suatu system penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh dan dirancang untuk mengetahui, menemukan pemecahan masalah bagi tuna grahita. Adapaun ciri dari program pendidikan jasmani adaptif antara lain:(Drs. Asep t, 2013)
1.      Program pendidikan jsmani adaptif disesuaikan dengan jenid dan karakteristik kelainan anak tuna grahita.
2.      Program pengajaran jasmani adaptif harus dapat membantu dan mengoreksi kelainan yang di sandang oleh anak tuna grahita.
3.      Program pengajaran jasmani adaptif harus dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan jasmani individu.
Perkembangan jasmani dan motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak umumnya, tingkat kebugaran jasmani anak tuna grahita yang memiliki MA tiga tahun sampai 12 tahum ada dalam kategori kurang sekali. Sedangkan pada umumnya sama ada dalam kategori kurang. Dengan demikian tingkat kebugaran jasmani anak tuna grahita setingkat lebih rendah dibandingkan dengan anak umumnya pada umur yang sama.
Kebugaran jasmani dan kemampuan gerak anak tunagrahita, yaitu :
1.      Gerakan – gerakan yang tidak berpindah tempat, tangan kedepan dan kesamping






                        Gambar 1.1: Tangan kedepan dengan bimbingan guru

Gambar 1.2: tangan kesamping dengan bimbingan guru

2.      Gerakan – gerakan yang berpindah tempat
Gambar 1.3: berjalan mengikuti jejak
           
3.      Gerakan – gerakan keseimbangan
Gambar 1.4: latihan keseimbangan


4.      Olahraga permainan yang bersifat rekreasi
Gambar 1.5: berjalan – jalan di sekitar kebun

5.      Olahraga dan permainan beregu
Gambar 1.6: anak tuna grahita melakukan kegiatan bermain kasti








6.      Olahraga senam aerobic
Gambar 1.7: anak tuna grahita melakukan olahraga senam

7.      Olahraga dan permainan yang menggunakan meja
Gambar 1.8: beranyun dengan sikut








8.      Olahraga bermain di air
Gambar 1.9: melakukan olahraga sambil bermain dalam air


2.4.6    Masalah – masalah yang dihadapi Anak Tuna grahita
            Perkembangan fungsi intelektual anak tuna grahita yang rendah dan disertai dengan perkembangan perilaku yang adaptif yang rendah pula akan berakibat langsung pada kehidupan sehari – hari mereka, sehingga ia banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Maslah – maslah yang dihadapi mereka secara umum maslah belajar, masalah penyesuaian diri terhadap lingkungan masalah bicara, dan bahasa serta maslah kepribadian.
1.      Masalah belajar
Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan kemampuan kecerdasan di dalam kegiatan belajar sekurang – kurangnya dibutuhkan kemampuan unruk memahami dan kemampuan untuk mengingat, serta kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat, anak – anak yang tidak bermasalah atau anak – anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar.
                 Anak tuna grahita dalam mempelajari sesuatu kerap sekali melakukannya dengan cara coba – coba (trial anda eror). Mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, tidak dapat melihat objek yang dipelajari secar gestalt, dan ia lebih melihat sesuatu hal secara terpisah – pisah.                                        Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai keberadaan anak tuna grahita dibanding dengan anak normal dapat dilihat pada grafik secara berikut.

Gambar 1.9 Perbandingan MA dan CA pada anak normal dan tuna grahita

Dari grafik tersebut tampak perkembangan kognitif (MA) anak tuna grahita tertinggal dari perkembangan kognitif anak normal. Di samping itu keterampilan kognitif (MA) anak tuna grahita juga tertinggal dari CA nya
.
2.      Masalah Penyesuaian Diri
Anak tuna grahita mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan. Oleh karena itu anak tunagrahita sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan mereka berada. Tingkah laku anak tuna grahita sering dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat karena mungkin tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normal atau karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan perkembangan umurnya.
3.      Gangguan Bicara dan Bahasa
Keampuan bahasa anak pada anak – anak diperoleh dengan sangat menakjubkan melalui beberapa cara, pertama ; anak dapat belajar bahasa apa saja yang mereka dengar setiap hari dengan cepat.
Hampir semua anak normal dapat menguasai aturan dasar bahasa kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua ; bahsaa apapun memiliki kalimat yang tidak terabatas, dan kalimat – kalimat dari bahasa yang mereka dengar sebelumnya. Hal ini berarti anak – anak harus belajar konsep grametical yang abstrak dalam menghubungkan kata – kata menjadi kalimat (Robert Ingall, 1987)
Ada dua hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses komunikasi, pertama; gangguan kesulitan bicara dimana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa yang benar. Kedua; hal yang lebih serius dari gangguan bicara adalah gangguan bahasa, dimana seseorang anak akan mengalami kesulitan dalam memahami aturan sintaksis dari bahasa yang digunakan.
4.      Masalah Kepribadian
Anak tuna grahita memiliki ciri kepribadian yang khas, berbeda dari anak – anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian ini berkaitan erat dengan faktor – faktor yang melatarbelakanginya. Kepribadian seseorang dibentuk oleh faktor organik seperti predisposisi genetik, disfungsi otak, dan faktor – faktor lingkungan seperti; pengalaman pada masa kecil dan lingkungan masayrakat secara umum.
5.      Kesadaran Diri Rendah
a.       Isolasi dan Penolakan
Perilaku tuna grahita yang dipandang ganjil oleh orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok sebaya. Sehingga anak tuna grahita tidak mempunyai teman.
Dentler dan Mackler (dalam Robert ingall, 1987) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang positi anatara IQ seseorang dengan penerimaan sosial oleh teman sebaya. Semakin tinggi IQ seseorang anak, semakin popular dan diterima oleh kelompok teman sebaya.
b.      Lebeling dan Stigma
Pemeberian label tuna grahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan vonis yang harus disandang seumur hidup oleh seorang tuna grahita. Label tseperti itu sudah membentuk persepsi masyarakat bahwa tuna grahita adalah sekelompok manusia yang dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal dan itulah yang disebut stigma.  
c.       Stres keluarga
Para ilmuwan khususnya pakar psikologi, sosiologi dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan anak. seseorang anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan penuh kasih sayang dan kehadirannya diterima oleh kedua orang tuanya, adanya keseimbangan dalam disiplin dan kebebasan, cenderung akan menjadi orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara seorang anak yang kehadiranya ditolak atau terlalau dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang sulit untuk menyesuaikan diri.
d.      Prustasi dan kegagalan
Sebagai akibat adanya dalam perilaku adaptif, anak tuna grahita tidak dapat memenuhi tugas – tugas yang di tuntut oleh masyarakat atau oleh teman sebaya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tuna grahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan prestasi yang sering dialami oleh anak tuna grahita berpengaruh negative terhadap perkembangan kepribadian mereka.
e.       Disfungsi otak
Hubungan antara difungsi otak atau kerusakan otak dengan gangguan perilaku masih belum jelas. Namun demikian, terdapat sejumlah bukti bahwa disfungsi otak atau kerusakan otak merupakan faktor yang memberikan kontibusi terhadap tibulnya gangguan perilaku (Robert Ingall, 1987). Sebagai contoh dari ciri yang dapat diamati pada anak – anak yang mengalami kerusakan otak adalah hiperaktif dan labilitas emosi. Banyak anak tuna grahita yang mengalami kerusakan otak, maka dari itu sebagian anak tuna grahita diduga mengalami gangguan emosi (Dodo S, 2013).
f.       Kesadaran Rendah
Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri tetapi keduanya saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian, dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi dimana orang yang kemampuan mentalnya tidak memadai seperti halnya pada anak tuna grahita. Kepribadiannya menjadi tidak matang dan tidak rasional. Kepribadian anak tuna grahita ditandai oleh dua hal yaitu; 1. Pengendalian lokus eksternal (eksternal locus of control) dan 2. Kelemahan fungsi ego (Dodo S, 2013).
1.      Pengendalian lokus external
Istilah locus of control dapat dijelaskan sebagai presepsi individu terdapat dalam kejadian yang terdapat pada dirinya sendiri.



2.      Kelemahan fungsi ego
Para peneliti seperti robinson (1972), Sternlich (1972), dan Deutsch (1972), (dalam Robert Ingall, 1987) telah melakukan analisis terhadap kepribadian tuna grahita dengan menggunakan teori Psikoanalisis Signum Freud. Ego, yang berfungsi sebagai eksekutif dan bertugas untuk menguji realitas, membwa impuls – impuls dari ID dan membuat keseimbangan dari impuls – impuls yang dating dari ID dengan tuntunan realitas, ego, merupakan aspek psikologis dari kepribadian (Dodo S, 2013)

2.5                   Kerangka Konsep
Faktor – faktor yang mempengaruhi Harga Diri :
a.       Perkembangan individu
b.      Ideal Diri Tidak elastic
c.       Gangguan Fisik dan Mental
d.      Sistem Keluarga Yang Tidak Berfungsi
e.       Pengalaman Traumatik Yang Berulang, misalnya Akibat Aniaya fisik, Emosi dan Seksual
f.        

Kerangka konseptual adalah kerngka hubungan antara konsep yang diinginkan atau diukur penelitian yang akan dilaksanakan :

                                                                                                                                                         Tinggi
Tingkat Harga Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Tuna grahita
 
                                                                                                                                                                                    Sedang
                                                                                                                                                                                    rendah
                                                                                                                                                         : Diteliti             
                                                                                                                                                          : Tidak diteliti
                                                                                                                                                          : Berpengaruh namun tidak diteliti Gambar 2.1 Kerangka konsep penelitian “Gambaran Tingkat Harga Diri Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Tuna grahita di Sekolah Dasar Luar Biasa Dabasah 5 Bondowoso”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kesimpulan

sectio caesarea

konsep hipertensi