bab 1 harga diri rendah anak tuna grahita
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.1
Latar Belakang
Masyarakat sering memberikan sebutan lain bagi anak tuna grahita. Diantara yaitu cacat
mental, mental subnormal,
bodoh, idiot, tolol, terbelakang mental dan masih
banyak sebutan lainnya. Sebutan-sebutan tersebut diberikan
karena kurang pahamnya
masyarakat mengenai tuna grahita.
Dalam pra penelitian
yang dilakukan, masyarakat menyamaratakan pengertian antara penyandang
cacat dengan tuna grahita.
Keterbelakangan mental
atau tuna grahita
merupakan bagian dari penyandang cacat yaitu penyandang cacat
mental, banyak dari anak
maupun orang tua merasa malu untuk bersosialisasi dengan lingkungan luar (Mumpuniarti,
2007).
Setelah
dilakukan Tanya jawab dengan orang tua yang memiliki anak dengan tuna grahita
peniliti dapatkan bahwa 4 dari 5 orang tua mengatakan malu dengan keadaan
anaknya dan sering menjadi olok – olokan warga dilingkungan rumah karena
keadaan anaknya. Oleh karena itu orang menitipkan anaknya ke asrama yang ada di
Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri Badean 5 bondowoso.
Hurlock (1986)
mengatakan bahwa cacat mental yang ada pada diri
seseorang dapat menimbulkan perasaan malu dan rendah diri sehingga hal ini
membuat orang tersebut memiliki konsep diri negatif. Konsep diri menurut Fitts
(1971) merupakan sesuatu yang dilihat, dipersepsi dan dialami oleh individu.
Konsep diri meliputi empat aspek utama, yaitu aspek kritik diri, aspek harga diri,
aspek integrasi diri dan aspek keyakinan diri. Keempat aspek tersebut
menggambarkan bagian – bagian diri yang digolongkan dalam dua dimensi, yaitu
dimensi internal dan dimensi eksternal. Masing – masing dimensi memiliki
komponen – komponen spesifik yang merupakan detil dari bagian – bagian diri.
Komponen – komponen dimensi internal terdiri dari komponen identitas diri,
perilaku dan penilaian diri. Sedangkan dimensi eksternal terdiri dari komponen
fisik, moral etis, diri personal, diri keluarga dan diri sosial. Akibat kecacatan yang dimiliki oleh anak, banyak orang tua dari anak penyandang cacat tubuh yang tidak menyekolahkan anak mereka karena berbagai alasan, namun banyak juga orangtua yang memasukkan anak mereka ke SLB maupun sekolah inklusi (Harter U, 2007).
seseorang dapat menimbulkan perasaan malu dan rendah diri sehingga hal ini
membuat orang tersebut memiliki konsep diri negatif. Konsep diri menurut Fitts
(1971) merupakan sesuatu yang dilihat, dipersepsi dan dialami oleh individu.
Konsep diri meliputi empat aspek utama, yaitu aspek kritik diri, aspek harga diri,
aspek integrasi diri dan aspek keyakinan diri. Keempat aspek tersebut
menggambarkan bagian – bagian diri yang digolongkan dalam dua dimensi, yaitu
dimensi internal dan dimensi eksternal. Masing – masing dimensi memiliki
komponen – komponen spesifik yang merupakan detil dari bagian – bagian diri.
Komponen – komponen dimensi internal terdiri dari komponen identitas diri,
perilaku dan penilaian diri. Sedangkan dimensi eksternal terdiri dari komponen
fisik, moral etis, diri personal, diri keluarga dan diri sosial. Akibat kecacatan yang dimiliki oleh anak, banyak orang tua dari anak penyandang cacat tubuh yang tidak menyekolahkan anak mereka karena berbagai alasan, namun banyak juga orangtua yang memasukkan anak mereka ke SLB maupun sekolah inklusi (Harter U, 2007).
Mangunsong
(1998) mengartikan Sekolah Luar Biasa sebagai
tempat pendidikan formal bagi anak cacat yaitu penderita tuna netra, tuna rungu,
tuna grahita, penyandang cacat tubuh dan tuna laras. Adapun SLB
diselenggarakan di Taman Kanak – Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar
Luar Biasa (SDLB), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB)
dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB). Stainback (1996) mengemukakan sekolah inklusi merupakan sekolah dimana semua kebutuhan siswa dapat ditemui dan menampung semua siswa di kelas yang sama tanpa memandang bakat, ketidakmampuan, latar belakang ekonomi atau suku bangsa. Beberapa penelitian menunjukkan ketidakberhasilan penerapan pendidikan inklusi karena ada beberapa anak yang menjadi rendah diri ketika digabungkan dengan anak – anak normal (Royanto, 2005). Perasaan rendah diri yang dialami oleh anak tersebut menandakan anak-anak tersebut memiliki konsep diri negatif. Konsep diri yang negatif menandakan ketidakbahagiaan dan menjadi sumber motivasi yang lemah (Harter dalam Ubaydillah, 2007). Motivasi lemah inilah yang mengakibatkan buruknya prestasi akademik. Namun, ditemukan di Amerika bahwa anak penyandang cacat yang dididik dalam lingkungan belajar yang terpadu secara akademik dan sosial ternyata lebih unggul daripada anak-anak yang dididik secara terpisah.
tempat pendidikan formal bagi anak cacat yaitu penderita tuna netra, tuna rungu,
tuna grahita, penyandang cacat tubuh dan tuna laras. Adapun SLB
diselenggarakan di Taman Kanak – Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar
Luar Biasa (SDLB), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB)
dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB). Stainback (1996) mengemukakan sekolah inklusi merupakan sekolah dimana semua kebutuhan siswa dapat ditemui dan menampung semua siswa di kelas yang sama tanpa memandang bakat, ketidakmampuan, latar belakang ekonomi atau suku bangsa. Beberapa penelitian menunjukkan ketidakberhasilan penerapan pendidikan inklusi karena ada beberapa anak yang menjadi rendah diri ketika digabungkan dengan anak – anak normal (Royanto, 2005). Perasaan rendah diri yang dialami oleh anak tersebut menandakan anak-anak tersebut memiliki konsep diri negatif. Konsep diri yang negatif menandakan ketidakbahagiaan dan menjadi sumber motivasi yang lemah (Harter dalam Ubaydillah, 2007). Motivasi lemah inilah yang mengakibatkan buruknya prestasi akademik. Namun, ditemukan di Amerika bahwa anak penyandang cacat yang dididik dalam lingkungan belajar yang terpadu secara akademik dan sosial ternyata lebih unggul daripada anak-anak yang dididik secara terpisah.
Di Amerika Serikat,
kelainan tuna grahita
empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki dibandingkan anak perempuan
dan lebih sering banyak diderita anak-anak keturunan Eropa
Amerika
dibandingkan yang lainnya. Di Indonesia, pada tahun 2013
diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita tuna grahita dalam usia 5-19
tahun. Sedangkan prevalensi penyandang tuna grahita di seluruh
dunia menurut data UNESCO
pada tahun 2011
adalah 6 di antara 1000 orang mengidap tunagrahita, dan 62% anak maupun orang
tua yang mempunyai anak tuna
grahita
mengalami harga diri rendah
(Wordpress, 2013).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan
peniliti pada 5 orang tua anak yang mengidap tuna grahita di Sekolah Dasar Luar
Biasa Badean 5 Bondowoso pada tanggal 10 desember 2013, dengan menggunakan
wawancara langsung di dapatkan 4 orang tua ( 80% ) mengalami perasaan malu di karenakan memiliki keturunan yang mengalami
tuna grahita. Sedangkan sisanya 20% orang tua yang memiliki anak tuna grahita
menerima keadaan keturunannya yang dimiliki.
Anak tuna grahita
merupakan salah satu
dari golongan anak
luar biasa. Adapun
golongan anak luar
biasa yaitu tuna netra (Penyandang Hambatan Penglihatan),
tuna rungu
(Penyandang Hambatan Pendengaran),
tuna grahita (Penyandang
Gangguan Perkembangan Intelegensi),
tuna daksa
(Penyandang Hambatan Fisik dan
Gerak), tuna laras
(berperilaku aneh), anak berbakat dan anak berkesulitan belajar. Anak tuna grahita mengalami kesulitan dalam hal
berkomunikasi dan juga berinteraksi.
Karena kesulitan ini, anak tuna grahita
dianggap sama dengan
anak autis. Padahal anak
tuna grahita berbeda dengan
anak yang autis.
Pada situasi-situasi tertentu,
anak autis bisa
lebih cerdas dalam
membahasakan sesuatu.
Autisme adalah suatu
gangguan perkembangan yang
menyangkut komunikasi, interaksi
sosial, kognisi dan aktivitas imajinasi (Mumpuniarti, 2007).
Stressor
keluarga dengan anak tunagrahita adalah pengorbanan
waktu kerja, finansial, penegakkan
kedisiplinan, stigma masyarakat, pertumbuhan anak terhambat dan
kekhawatiran masa depan
anak. Sehingga orang tua menjadi malu dan menganggap merawat sendiri anak tuna grahita
menyita banyak waktu dan banyak dari orang tua menitipkan anak tuna grahita ke
sekolah Dasar luar Biasa yang memiliki asrama supaya tidak diketahui banyak
orang dan dikarenakan tidak mau meluangkan waktunya untuk merawat atau mendidik
anak tuna grahita secara mandiri (Megah
Andriany, 2001).
Melihat
masalah diatas solusi yang ditawarkan oleh peneliti, berupa diperlukan adanya
bimbingan konseling (pendampingan) terhadap orang tua yang memiliki anak tuna grahita,
serta pihak sekolah mengadakan pendidikan khusus untuk anak tuna grahita dan
tim kesehatan memberikan penyuluhan di lingkungan sekolah tentang terapi dan
pengobatan untuk meningkatkan kesehatan anak tuna grahita.
1.2 Rumusan Masalah
“Bagaimana gambaran tingkat harga diri orang tua
yang memiliki anak dengan tuna grahita di
Sekolah Dasar Luar Biasa Badean 5 Bondowoso?”
1.3 Tujuan Peneliti
Mengetahui gambaran tingkat harga diri orang tua
yang memiliki anak dengan tuna grahita di Sekolah Dasar Luar Biasa Badean 5 Bondowoso.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi
tenaga keperawatan
Dengan informasi yang telah disajikan dalam
penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan asuhan perawatan klien
dengan tunagrahita.
1.4.2 Bagi
institusi pendidikan
Memberikan informasi tentang anak tunagrahita
dan harga diri orang tua yang memiliki anak dengan tunagrahita.
1.4.3 Bagi
responden
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
mengembalikan harga diri orang tua yang memiliki anak dengan tunagrahita.
1.4.4 Bagi
peneliti
Di harapkan penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar